Hujan yang cukup deras sepertinya masih belum mengijinkan kami berdua untuk melanjutkan petualangan di siang itu.
Dinginnya udara kota Tomohon semakin menjadi ketika butiran air yang dicurahkan dari langit itu bersua dengan tanah, merebakkan hawa dingin yang memaksa setiap orang merapatkan baju dan lengan.
Kami baru saja menghabiskan makan siang di sebuah kafe di sudut kota bunga ini, kafe yang cukup tertata rapi dengan nuansa ala Jepang, khas sesuai namanya ‘Tomaru’.
Selepas mendaki monumen Benteng Moraya di tepi persawahan Tondano, target kami hari itu adalah sebuah vihara dengan pagoda yang menjulang tinggi. Ya itu adalah Vihara Buddhayanna.
Vihara yang selama ini hanya bisa saya saksikan kemegahan pagodanya yang terlihat jelas dari jalan utama kota Tomohon.
Kadang juga hanya bisa menyimak keunikan arsitektur bangunannya dari postingan Instagram yang dibagi teman-teman.
Sepiring pisang goreng dan sambalnya ternyata masih belum cukup mengusir rasa dingin yang terasa, setelah hujan sudah lumayan reda kami berdua sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Seharusnya dari Tomaru Cafe menuju Vihara Buddhayanna tersebut sudah tidak terlalu jauh.
Kehujanan Lagi
Dan sepertinya cuaca hari ini belum memihak kepada kami, sekitar seratus meter dari Vihara hujan mulai deras. Bermodalkan sepeda motor yang dipacu semakin kencang, akhirnya tiba juga kami di Vihara yang dituju.
Sepintas lalu, hal pertama yang menarik perhatian saya tentu adalah Pagoda yang menjulang tinggi bersama deretan patung yang berjajar di bagian depan Vihara.
Tapi bukan itu yang menjadi prioritas, segera saja kami memarkirkan kendaraan yang ada lalu buru-buru mencari tempat berteduh.
Setengah berlari kami menuju bangunan utama Vihara dan langsung disambut tatapan tajam dari si ibu penjaga. “Isi nama dulu di sini” Ucap sang penjaga Vihara ketus sambil menyodorkan buku yang kayaknya buku daftar tamu pengunjung Vihara.
Sesudah mengambil pena yang tersedia, saya pun segera menuliskan nama kami berdua di deretan paling bawah nama-nama yang ada.
Melihat sekilas saja, saya mengerti sebelum kami sudah ada beberapa rombongan yang mengunjungi vihara ini, ada rombongan sekolah maupun beberapa nama keluarga juga tampak menghiasi halaman buku tamu bertanggal hari itu.
“Sepuluh ribu, satu orang” Jawab si Ibu penjaga sembari menerima buku tamu yang saya berikan. Kami berdua bertatapan, setengah tak rela, lembaran duapuluh ribuan pun berpindah tangan di siang yang terasa dingin itu.
Mata saya sempat nyalang melihat harga ‘sumbangan partisipasi’ yang terpampang rapi, apalagi setelah melihat baris bertulis ‘Foto dan Video Dokumenter’ yang sejajar dengan angka beberapa ratus ribu rupiah, di bagian bawahnya tampak tulisan ‘sesi prewedding’ yang kalau tak salah ingat menyentuh kata juta rupiah.
Kecut juga nyali saya sambil meraba tas yang berisi DSLR kesayangan hehe, yah walaupun peryataan ‘dokumenter’ itu sedikit ambigu, saya menghibur diri sambil mengingat ada beberapa teman yang pernah memotret juga di sini dengan kamera sejenis.
Hujan semakin terasa deras, tak mau berlama-lama bersama si Ibu penjaga, kami berlarian menuju bangunan kuil di ujung kompleks Vihara Buddhayanna, di bagian deretan pertama patung pengikut Buddha yang berdiri megah.
Sesampainya di bangunan di sudut kompleks, terpampang rapi pemberitahuan yang meminta pengunjung untuk melepas alas kaki. Merasa agak repot membuka sepatu, kami pun selonjoran duduk di lantainya.
Tak dinyana derasnya terpaan hujan akhirnya membuat kami sepakat untuk masuk sembari meninggalkan sepatu di luar.
Bagian teras kuil di Vihara ini terasa nyaman, dengan bagian tempat duduknya yang disediakan khusus untuk pengunjung tepat berhadapan dengan pintu masuk ke dalam ruangan kuil.
Kedua tiangnya berhiaskan patung naga yang melingkar seolah siap menerkam semua yang datang. Suasana di bagian dalam kuil sendiri agak temaram, tapi masih terlihat jelas tempat dupa serta patung dewa yang menghiasi tempat utama di dalamnya.
Aroma kemenyan sangat terasa menusuk di hidung, jadi sedikit terasa mistis di tengah dinginnya udara siang itu.
Selain bau dupa yang terasa, satu hal yang juga nyata bagi kami adalah perasaan bahwa kami diawasi.
Oh.. bukan, bukan yang bernuansa gaib.
Tapi diawasi dalam artian sebenarnya. ya sekeliling kuil dan kompleks Vihara ini dipenuhi dengan kamera CCTV. Pertama kali ditunjukkan Dessy di bagian Pagoda, setelah itu terlihat oleh saya dua kamera lagi di teras kuil tempat kami berteduh.
Yah, mungkin untuk menjaga dari orang-orang yang tak bertanggung jawab, mengingat kuilnya sendiri senantiasa terbuka.
Kayaknya hampir satu jam kami berdua meringkuk di teras kuil tersebut, hujan yang begitu deras ditambah petir yang menyambar-nyambar, membuat niat untuk mengelilingi Vihara Buddhayanna ini harus ditunda dulu.
Menariknya di tengah hujan yang cukup deras tersebut, ada beberapa pengunjung yang nekat mengunjungi kuil kura-kura di bagian belakang Vihara ini. Sekelompok ibu-ibu dengan payungnya sempat terlihat menerobos hujan, wah benar-benar niat nih hehe.
Akhirnya setelah menunggu sekian lama, hujan pun mulai berhenti. Petualangan di Vihara Buddhayana pun dimulai. Kesan pertama yang saya tangkap adalah kebersihan area Vihara yang terjaga. Sebagai tempat ibadah sekaligus tempat wisata, Vihara ini benar-benar dijaga kebersihannya.
Mengintip Kura-Kura Di Kuil Kura-Kura Raksasa
Selain pagodanya yang megah, keunikan dari Vihara Buddhayana ini adalah bangunan kuil berbentuk kura-kura di bagian belakang kompleks Vihara.
Di bagian depan kuil kura-kura ini terdapat sebuah kolam kecil yang lucunya berisi…. kura-kura asli! Beberapa ekor kura-kura imut ini begitu asyiknya berenang di dalam kolam tersebut.
Katanya sih pada beberapa waktu lalu, banyak yang suka datang terus melemparkan koin ke dalam kolam ini, sembari berharap keberuntungan dan impiannya terkabul. Kami juga sempat mengintip sedikit bagian dalam kuil berbentuk kura-kura ini.
Oh ya ada beberapa larangan yang sudah seharusnya dipatuhi pengunjung Vihara. Selain melepas alas kaki saat memasuki bagian dalam bangunan yang ada, kita juga tak diperbolehkan memotret saat berada di dalam ruangan ibadah serta makan atau minum di dalamnya.
Nah karena ini dipotret dari luar, yah gpplah ya.. hehe (ngeles).
Selepas mengunjungi kuil kura-kura tadi, berikutnya yang diintip adalah istana Dewi Kwan Im.
Dewi yang saya kenal dari film Sun Go Kong ini, tampil dengan nuansa begitu feminim. Bangunan istananya dicat warna pink yang lembut. Sayup –sayup dari bagian dalamnya juga terdengar lagu yang diputar terus menerus.
Lagu itu yang sempat saya dengar sewaktu berteduh dari hujan deras di bangunan kuil sebelah, dengan musik yang mendayu-dayu cukup menghanyutkan juga saat bercampur dengan bunyi air yang jatuh.
Selesai menelusuri keunikan bangunan istana Kwan Im, pandangan saya langsung tertuju ke bangunan 8 lantai yang begitu megah ini. Yup, itulah pagoda Ekayana. Menjulang tinggi serasa ingin menggapai langit di atasnya.
Sebenarnya niatnya ingin naik ke bagian atasnya, cuman yah itu agak ragu-ragu takutnya tak diizinkan. Ditambah hari yang sudah semakin sore dan baju yang lumayan basah, agaknya kami sudah harus segera menyelesaikan tur hari ini hehe.
Beberapa informasi penting
Seperti sudah disebutkan tadi, harga ‘tiket’ masuk ke kompleks Vihara ini adalah Rp. 10,000 per orang. Patuhilah beberapa peraturan seperti melepas alas kaki dan topi, serta aturan saat di dalam ruangan tempat beribadah.
Juga karena ini merupakan tempat ibadah, tentunya tak bijaksana jika kita membuat keributan apalagi jika dalam rombongan yang besar.
Untuk alamat sendiri, Vihara Buddhayanna ini terletak di Jl. Sunge No. 57, Tomohon Utara, Sulawesi Utara, serta kurang dari sejam dari kota Manado.
Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi semacam motor atau mobil, tenang areal parkirnya cukup luas.
Oh ya Vihara Buddhayanna sendiri dibuka mulai dari pukul 8.00 pagi dan ditutup pukul 18.oo.
Jadi, ada yang tertarik untuk mengunjungi tempat wisata cantik di kota bunga Tomohon ini?
Leave a Reply