“Manjo pi Trikora?” (Ayo ke Trikora)
Kalimat ajakan itu terlontar setelah kami berlima sedikit bingung untuk memutuskan akan kemana siang itu. Sebuah siang yang terik di Pulau Lembeh.
Selasa, 3 Januari 2017
Selepas bermain pecahan karang di Pantai Kahona, Kelurahan Pasirpanjang, saya, kakak perempuan dan temannya, plus dua ponakan yang masih duduk di bangku SMP sepakat untuk singgah di Monumen Trikora.
Iya, singgah karena sebelumnya tempat ini tak masuk dalam list tujuan wisata siang itu. Sambil beriringan kami memacu sepeda motor menyusuri jalan utama di Pulau Lembeh yang sudah teraspal rapi.
Monumen Trikora sendiri merupakan salah satu tempat wisata sejarah di Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Monumen yang terletak di kelurahan Batulubang Pulau Lembeh ini didirikan sekitar tahun 80-an untuk memperingati peristiwa Trikora yang digagas langsung oleh presiden kala itu, Soekarno.
Kabarnya karena Kota Bitung menjadi salah satu tempat pendaratan awal dari tentara Indonesia sebelum bertolak menuju ke Irian.
Semilir Angin Di Pepohonan
Tak butuh waktu terlalu lama untuk bisa tiba di Kelurahan Batulubang tempat monumen ini berdiri kokoh. Mungkin sekitar 15 menit dengan kecepatan normal.
Saya pribadi sudah mengunjungi tempat ini beberapa kali, sekali waktu masih duduk di bangku sekolah, dan sisanya bersama dengan teman-teman penyiar waktu masih aktif di sebuah stasiun radio lokal.
Tak ada penanda khusus yang menunjukkan jalan masuk ke monumen ini, meski begitu saya tetap yakin membelokkan sepeda motor mengikuti jalan sempit di samping kantor kelurahan Batulubang.
Melihat tugu yang menjulang di depan mata tentu tak mungkin salah alamat lagi seperti kata Ayu Tingting hehe. Ketiadaan papan penunjuk ini yang jadi poin minus pertama saya saat mengunjungi Trikora kali ini.
Jalan tanah dan berbatu sudah menyambut saat memasuki areal monumen, setiba di dalam saya langsung memarkirkan kendaraan di tempat yang teduh, terpayungi bayangan tugu.
Matahari sudah bergeser dari atas kepala. Wajar karena penunjuk waktu di handphone saya sudah menampilkan angka 2, lebih beberapa menit
Tempat parkir yang kami pilih berada dekat dengan areal pesawat Dakota TNI AU. Rasanya sulit membayangkan Monumen Trikora tanpa pesawat yang menjadi ciri khasnya. Pesawat ini pula yang paling membekas di ingatan kanak-kanak saya ketika menyebut kata Trikora.
Kiri kanan tugu ini dipenuhi pepohonan rindang dengan dedaunan yang cukup lebat. Rumput yang ada pun terasa cukup tinggi dan tebal di kaki.
Saya melanjutkan langkah menelusuri tangga beton ke bagian bawah, mencoba memotret bagian depan pesawat dengan latar langit. Sayangnya saat itu langit dipenuhi awan, putih seperti kapur tulis yang dulu dipakai guru saya di sekolah dasar.
Di kiri kanan mudah untuk dijumpai bungkus air mineral ataupun potongan sampah lainnya, kesan jarang dibersihkan sangat terasa. Saya tidak tahu apa ada penjaga resminya atau tidak. Berdasarkan beberapa berita daring yang sempat saya baca, dulunya pernah ada penjaga tempat ini. Tidak tahu apa masih ada atau sudah pensiun berganti profesi.
Mengintip sejarah dari relief di dinding
Untuk menuju ke dalam lokasi utama kita bisa mengikuti lorong samping di antara bangunan yang ada. Serasa menyusuri kastil-kastil tua walau sebatas imajinasi saja hehe.
Setibanya di area dalam, mata saya terpaku pada deretan gambar timbul yang terukir di dinding sebelah kiri dan kanan. Tampak Bung Karno yang sementara berdiri gagah memberikan komando kepada pasukan, diikuti gambar tank dan beragam kapal perang di sisi yang satunya.
Jujur saja, pada kunjungan-kunjungan sebelumnya tak pernah saya menaruh perhatian lebih pada gambar-gambar ini.
Sisi sebelah dalam ini terlihat cukup bersih, di bagian paling atas dari deretan tangga ini akan kita jumpai sebuah patung garuda tergantung di dinding (yang sayangnya tak sempat saya potret).
Niat hati untuk berpose di bawah patung garuda harus diurungkan karena masih ada beberapa abg yang asyik selfie dengan macam-macam gaya tepat di bawah lambang negara tersebut.
Selepas menelusuri gambar – gambar yang terpajang, kami turun ke bawah beristirahat di samping Tarsius raksasa. Yup.. Di dekat tangga menuju dermaga terdapat patung tarsius atau dalam bahasa lokal dikenal dengan tangkasi.
Sayangnya si tangkasi penuh dengan coretan-coretan orang tak bertanggung jawab, mungkin segelintir anak alay yang tersesat di kawasan wisata ini.
Angin yang bertiup lembut memanjakan kami. Sementara matahari semakin condong ke barat. Kami pun memutuskan untuk segera kembali ke pelabuhan, menanti kapal Ferry yang akan membawa kami menyeberang Selat Lembeh yang teduh saat itu. Hari yang sudah sore memaksa kami untuk tidak menelusuri Trikora lebih jauh lagi.
Sedikit harapan yang terbersit di benak saya, semoga saja kedepannya Monumen Trikora ini lebih diperhatikan. Baik dari kebersihannya maupun perawatan bangunan yang ada.
Rasanya sayang sebuah monumen dengan nilai sejarah seperti ini, harus berdiri sunyi setiap hari.