Ijinkan saya bercerita tentang kota kami…
Sebuah kota pelabuhan di ujung utara pulau Sulawesi, salah satu dari ratusan kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.
Kota dengan nama resmi Bitung dan berjuluk kota cakalang, karena salah satu produk utama perikanannya adalah ikan cakalang.
Ada juga tuna, tude, deho maupun beragam ikan dengan sebutan lokal berjejer di belakangnya. Meski beberapa waktu terakhir heboh karena menjadi pengimpor tuna.
Kota yang juga terkenal dengan dua musimnya, musim panas dan musim panas skaliiii… Haha.
Kota yang sama yang menyimpan seribu kisah indah bagi setiap pribadi yang mengenalnya.
Entah lahir dan dibesarkan di sini, entah yang hanya sekedar bekerja dan merantau, ataupun yang setidaknya pernah singgah untuk merasakan peluh mengalir di tengah semilir angin pantainya.
Ya, kota Bitung merupakan kota pantai. Garis pantainya terbentang jauh. Otomatis tentu saja mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah melaut atau nelayan.
Tapi itu dulu…
Sebelum negara api menyerang (oke ini garing).
Seperti yang pernah saya kisahkan di postingan Rumah dan Cerita Indahnya, demikian pula kota kami harus mengikuti perkembangan zaman. Dimana jengkal demi jengkal pantainya tergerus dengan industri.
Oh.. ini kan kisah indah, kok jadi melow.
Hehe maafkan.
Mari kita kembali ke alur yang benar.
Satu hal yang saya banggakan dari kota Bitung, adalah kekeluargaan di tengah kemajemukkannya.
Kekeluargaan atau disebut juga persaudaraan.
Saling mengasihi dan menghargai.
Ya.. kami pun tak luput dari yang namanya SARA. Seperti halnya kota pelabuhan (dan juga daerah-daerah) lainnya, di kota Bitung terkumpul beragam manusia dari beragam daerah dan suku.
Yang tentunya beragam karakter, cara pandang, kebiasaan, budaya dan agama.
Dan seperti biasa, yang disebutkan terakhir senantiasa menjadi senjata dari orang-orang tak bertanggung jawab.
Kabar dan isu tak jelas sering jadi santapan lezat di media sosial.
Meski kita tahu bersama, senantiasa ada yg bermain api di balik asap.
Pekat laksana hutan Sumatera yang sering terbakar. Entah itu sekedar bisnis atau politik tingkat tinggi.
Tapi saya tetap bangga. Di media sosial yang sering dijadikan seperti kompor gas, selalu ada kesejukan tersendiri ketika melihat pak Haji bercanda di kolom komentar dengan pak Pendeta.
Hal yang dengan sendirinya menguarkan rasa persaudaraan seperti matangnya cake cokelat yang dipanggang, menebar keharuman ke seisi rumah dan tetangga.
Saya senang di sini, karena rasa toleransi beragamanya tinggi.
Itu ucapan sahabat saya waktu kami masih duduk di bangku sekolah, bertahun-tahun silam. Dia sendiri berasal dari pulau Jawa, mengikuti orang tuanya yang pindah kerja di kota kami.
Sekarang dia sudah kembali ke sana, meniti pekerjaan dan karir.
Kami berbeda kepercayaan. Tapi persahabatan selalu memberi alasan untuk saling menghormati dan menghargai.
Tanpa memaksa, tanpa menyakiti, dan tanpa kebencian yang saat ini diobral seperti baju bekas, berserakan dan murah, hingga memaksa peraturan ujaran kebencian itu hadir tertulis.
Semua teman dan kenalan saya hampir bisa mewakili semua agama yang diakui di Indonesia
Jika sejak lahir saja kita semua berbeda, mengapa perbedaan itu harus membuat kita bentrok satu sama lain?
Ah andai saja semua yang senang bermain kompor di media sosial dan media-media lainnya, punya sedikit pemikiran seperti itu.
Jadi Tertarik Ke Kota Bitung?
Jadinya promosi nih haha..
Tapi tak mengapa kan, lagian baru satu kisah yang saya ceritakan di atas, sekelumit kisah toleransi dan menghargai sesama mahluk hidup di kota kami.
Masih ada 999 kisah lainnya yang menanti untuk dibagikan. So… stay tuned..:)