Jujur.. Kalimat di atas sebenarnya ingin dituliskan sebagai ‘status’ hari ini. Mengawali hari dengan perasaan kecewa dan sedih sisa semalam gara-gara persoalan ‘pribadi’ yang berakhir lumayan mengoyak hati (ini lebay tapi sakitnya beneran :D).
Sembari menyadari hari ini adalah hari ketiga pelaksanaan UAS akhir, dengan fakta dua mata kuliah yang bahkan belum disentuh buku catatannya untuk dipelajari, keduanya semakin menambah beban di hati yang menggantung tak berujung, hehe.
Dan masalah itu mulai bermunculan. Pukul 11 siang, salah satu server website error. Bermula dari main update yang tak selesai, membuat saya tak bisa masuk ke dalam admin area.
Errornya sendiri hanya membuat bagian admin tak bisa terbuka, bagian frontend website masih normal. Hampir 2 jam saya habiskan untuk searching penyebab dan cara menyelesaikan masalah ini, keyword ‘How to Resolve Error 500‘ mengantar saya membuka lebih dari selusin tab pada browser chrome.
Hasilnya? Website sama sekali error, bad gateway 502, hahahaha sungguh pintar. Sekarang sih bisa ketawa ya, tapi waktu mengalami sendiri error tersebut sungguh gemetar sampai rasa lapar pun lenyap tak berbekas.
Keputusan final adalah reinstall server, setelah sebelumnya mencoba mengalihkan DNS ke hosting lama, tapi hasilnya tak memuaskan karena tampilannya kacau balau.
Upaya reinstall pertama gagal, entah karena buru-buru mengingat waktu sudah lewat pukul 1 siang, dan belum punya persiapan apa-apa buat ujian sebentar. Dasarnya mahasiswa sistem SKS, ya mengandalkan the power of kepepet, hehehe.
Percobaan kedua akhirnya berhasil,setelah mencomot backup database yang disimpan di cloud dan direstore, akhirnya website kesayangan bisa online kembali. Dalam dunia internet dan jaringan, down satu dua menit saja sangatlah berpengaruh dalam posisi SERP, apalagi sampai berjam-jam.
Tapi syukurlah bisa selesai. Yah meski tumbalnya salah satu website yang baru dibuat di server yang sama, harus lenyap tak berbekas karena lupa dibackup dan servernya sudah terlanjur direinstall.
Untuk beberapa saat saya terpikir, “Oh Tuhan musti kwa samua ini jadi kong sama-sama depe waktu” (Mengapa semua ini terjadi di waktu yang sama –red).
Selepas persiapan untuk ujian (baca: bikin contekan di hape haha), saya berangkat ke kampus, soalnya kuliahnya sore – malam. Dengan seribu macam perasaan yang campur aduk, anak alay bilang gegana, gelisah galau merana hahaha.
Dan sepertinya cuaca sore itu turut ambil bagian dalam upaya mendramatisasi. Hujan badai melanda kota kami, petir sabung menyabung menjadi satu, itulah Indonesia, eh. Maksudnya hujan super deras mengguyur kota ini, seolah menumpahkan kekesalannya selama setahun yang hampir berakhir haha.
Ajaibnya, ujian berjalan lancar. Tak ada soal yang terlewatkan. Tak ada contekan yang perlu dibuka. Yang terakhir sih karena pengawas ujiannya ketat skalianan :D. Tapi semua soalnya puji Tuhan bisa dijawab dengan yakin, benar-salahnya kan keputusan bapak Dosen yang terhormat :D.
Selesai ujian, saya duduk-duduk di emperan bagian depan kampus. Menanti hujan yang tak sedikitpun menunjukan niat untuk reda, saya berbincang-bincang dengan salah satu teman kuliah, seorang bapak yang cukup berumur tapi masih penuh semangat menempuh pendidikan di bangku kuliah.
Mengingat posisi dan pekerjaannya saat ini sebagai pegawai negeri, rasanya sudah mapanlah jika mau dibilang rata-rata kebanyakan orang. Tapi si Bapak masih setia duduk di bangku kuliah, hingga saat ini berada di semester akhir.
Beliau bercerita bagaimana perjalanan hidupnya hingga bisa berada di posisi saat ini, posisi yang umumnya didambakan begitu banyak orang, terbukti dengan adanya ratusan ribu pelamar CPNS setiap taonnya.
Bagaimana dia memulai segala sesuatu dari nol, bekerja sungguh-sungguh dari gaji hanya puluhan ribu rupiah. Serabutan sana-sini, pekerjaan apapun yang penting halal beliau kerjakan. Mulai dari membuat batako, ojek, hingga jadi tukang suruh pun dia jalani.. Sepenuh hati!
Bertahun-tahun dia lewati semua itu, dengan setia, dengan jujur. Bagaimana dia ceritakan satu dua rupiah yang tak pernah dia lupa untuk kembalikan jika itu bukan haknya.
“Saya ndak mau makan uang haram, apalagi kasih makan anak-anak saya dengan uang kayak gitu, mau jadi apa mereka jika makannya dari uang seperti itu.” Ucap si Bapak.
Jujur saya merinding ketika menceritakan ini kembali, di dunia saat ini teramat jarang ada orang yang jujur hingga perkara recehan saja.
Tak lupa beliau juga bercerita tentang beragam orang yang dia temui setiap hari, orang-orang yang bekerja sebagai tenaga kontrak di kantornya, mulai dari satpam hingga cleaning service.
Tanpa maksud melecehkan jenis pekerjaan mereka (terang saja, Beliau pernah melaluinya kok), si Bapak bercerita bagaimana mereka ini banyak yang bermalas-malasan, masuk kantor saja jarang, pekerjaan dikerjakan jika disuruh, dan beragam sikap negatif lainnya.
Hingga beliau bercerita tak jarang banyak yang kontraknya tak bisa diperpanjang lagi karena sikap seperti itu, yang tak menghargai pekerjaan. Padahal dia sudah sering mengingatkan, bahkan hingga berulang kali.
Ketika saya tanya “Memangnya tak bisa diberhentikan Pak,yang kerjanya gak becus begitu?”. “Tega ndak kamu menghentikan tempat makan orang, periuk nasi orang, ladang dia kasih makan keluarganya” Jawab si Bapak.
Terkadang hanya karena rasa kemanusiaanlah yang membuat orang dengan attitude kerja seperti itu, dipertahankan hingga selesai masa kontraknya. Kalo masalah diperpanjang, tentu itu lain cerita karena melibatkan keputusan banyak orang, penilaian banyak orang yang berwenang.
Beliau kembali mengingatkan bahwa jika dia menegur orang yang kerjaannya malas-malasan, dia sudah pernah merasakan jenis pekerjaan seperti itu, bertahun-tahun bahkan dia sudah lewati.
Tak ada rasa malu dalam dirinya jika mengerjakan pekerjaan yang bagi sebagian orang dirasa ‘kelas sosialnya’ di bawah.
Bagaimana orang-orang yang dahulu dia layani di kantor, yang sering memperlakukan beliau dengan tidak adil dan sewenang-wenang, sering menzalimi beliau dalam banyak hal, sekarang menjadi satu level dalam pekerjaan, bahkan ada yang sampai harus datang minta tanda tangan beliau dalam berkas-berkas pekerjaan.
Saya tertegun.
Tak lupa si Bapak mengingatkan bahwa dia tak pernah ada niat membalas perlakuan mereka, biarlah mereka sendiri yang melihat dan mengingat apa yang mereka pernah lakukan di waktu lalu.
“Semua yang saya punya itu hanya titipan, jika suatu waktu orang lain menggantikan posisi saya, saya tak mengapa, karena saya pernah melalui banyak hal yang lebih buruk, maka setiap jabatan yang ada saat ini bukanlah sesuatu yang harus kita pertahankan mati-matian, karena pasti semua berputar”
Dan hujan malam itu tak kunjung reda juga, kami pun menyadari bahwa kami harus pulang meski berbasah-basahan, sembari mengucapkan salam perpisahan beliau berlari ke arah motornya yang terparkir rapi di parkiran kampus.
Saya pulang malam itu dengan seribu perasaan yang campur aduk, Tapi kali ini beda.
Jika saat pertama saya ke kampus, berpikir mengapa semua hal buruk terjadi di saat yang bersamaan. Saat ini saya berpikir bahwa apa yang saya alami, saya lakukan, saya perjuangkan, masih belum ada apa-apanya dengan yang orang lain lakukan dan perjuangkan.
Dibawah guyuran hujan yang masih terasa deras, saya diajari kembali tentang kebenaran. Bagaimana kita melakukan segala sesuatu itu dengan kesungguhan hati seperti untuk Tuhan, bagaimana kita setia dalam perkara kecil untuk dipercayakan perkara besar, hingga bagaimana kita belajar mengampuni tanpa mendendam kepada orang lain.
Ketiganya sudah sering saya dengar dalam banyak khotbah di gereja, ataupun ibadah. Tapi malam ini rasanya begitu mengena di hati, ketika bapak yang Muslim mengamalkan ketiganya jauh lebih nyata dibanding semua ucapan khotbah yang sering saya dengar, senyata kisah hidupnya yang saya saksikan sendiri.
Oh ya…
Sakit hati, kecewa, ditinggalkan sendirian sih wajar-wajar saja, apalagi jika akibat kesalahan sendiri, seperti yang saya baca di status salah satu teman Facebook:
You knew what you had, you just never thought you’d lose it
So if you lose it, sadarilah ada banyak hal yang harus kamu perjuangkan, dan sangat layak untuk kamu hargai dalam hidup ini. Semangat!
Desember, Bitung Di Kala Badai